Memahami Hadits dengan Pendekatan Bahasa



         Salah satu metode yang tepat dalam memahami sunnah Nabi S.A.W  adalah melihat sebab-sebab khusus atau alasan tertentu yang menjadi latar belakang suatu hadits, baik yang tersurat maupun tersirat, atau yang dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal ini membutuhkan pengetahuan yang mendalam , pandangan yang teliti, dan kajian yang komperhensif atas teks-teks hadits.
            Untuk memahami hadits dengan baik dan mendalam, kita perlu mengetahui konteks yang menjelaskan situasi dan kondisi munculnya suatu hadits, sehingga diketahui maksud hadits tersebut dengan seksama, bukan atas dasar perkiraan semata atau dipahami sesuai dengan makna lahiriyah yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Dengan demikian, pemahaman terhadap hadits bisa lebih komprehensif. Untuk itu, perlunya memahami teori-teori dari berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi maupun faktor linguistik untuk memahami hadits Nabi. Dengan bantuan teori-teori ilmu tersebut, seseorang dapat memahami hadits dengan tepat.
Penelitian matan hadits dengan pendekatan bahasa adalah salah satu upaya untuk mengetahui kualitas hadits. Melalui pendekatan bahasa, pembaca dapat memahami, serta mengetahui makna dan tujuan hadits Nabi Muhammad.

 
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bahasa

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa diartikan sebagai system lambing berbunyi yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkerjasama dan berinteraksi serta mengidentifikasikan diri. [1] Singkatnya, bahasa adalah suatu alat komunikasi antara manusia secara lisan maupun tulisan.

B.     Pengertian Pendekatan Bahasa
Pendekatan linguistik atau bahasa adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami Hadits Nabi Muhammad SAW. Mungkin saja suatu hadits tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadits tertentu lebih tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan. Pemahaman dan penerapan hadits secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadits ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).[2]
Penelitian hadits dengan pendekatan bahasa ini dilakukan selain dapat digunakan untuk meneliti makna hadits, juga dapat digunakan untuk meneliti nilai sebuah hadits apabila terdapat perbedaan lafadz dalam matan hadits. Seringkali pendekatan bahasa dalam memahami hadits dilakukan apabila sebuah matan hadits terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.[3]
Dalam memahami hadits menggunakan pendekatan bahasa, maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata (mufradat) sukar yang terdapat dalam hadits. Jika telah dipahami, lalu melanjutkan dengan melihat unsur-unsur keindahan bahasa. Setelah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadits tersebut, baru dapat ditarik kesimpulan dari makna hadits tersebut.[4]
C.     Bentuk Matan Hadits
Dilihat dari matannya, hadits nabi memiliki bentuk matan yang beragam. Ada yang berupa jami’ al kalim, (yaitu ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan (dialog, ungkapan analogi (qiyash) dan lain sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadits ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap Hadits Nabi SAW pun berbeda-beda.
1.      Jawami’ul Kalim

كل مسكر خمر وكل مسكر حرام (رواه البخاري)

Setiap yang minuman yang memabukkan adalah khamar dan setiap minuman yang memabukkan adalah haram. (HR. Bukhori)[5]

Secara tekstual, hadits itu memberi petunjuk bahwa keharaman khomr itu tidak terikat waktu dan tempat. Dengan pemahaman yang demikian itu, maka dapatlah dinyatakan bahwa khomr adalah minuman haram.[6]

2.      Bahasa Tamsil

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه بخاري)  

Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan: bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya. (HR. Bukhari)

Hadits Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman seperti bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat waktu dan tempat, sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya. Orang yang beriman begitu pula seharusnya, yakni orang yang satu memperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.[7]

3.      Ungkapan Simbolik
Sebagaimana halnya dalam Al Quran, dalam hadits Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan suatu ayat ataupun suatu hadits berbentuk simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada pernyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai bukan simbolik.

المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء (رواه بخاري)   

Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut) sedang orang kafir makan dengan tujuh usus (HR. Bukhori)

Secara tekstual. Hadits tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak dibedakan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.

Perbedaan usus dalam matan hadits tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memangdang makanan bukan sebagai tujuan hidupnya. Karenanya orang yang beriman mestinya tidak banyak menutut dalam kelezatan makanan. Yang banyak menuntut kelezatan makanan umumnya orang kafir. Disampng itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk tatkala makan, sedagkan orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.[8]
4.      Bahasa percakapan

أن رجلا سأل النبي صلعم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرؤ السلام على من عرفت ومن لا تعرف. (متفق عليه)

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?” Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”     ( Muttafaq Alaih)
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda. [9]
5.      Ungkapan Analogi
Adakalanya matan hadits Nabi berbentuk ungkapan analogi. Dalam ungkapan itu terlihat adanya hubungan yang sangat logis.
Dalam suatu matan hadits nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para sahabatnya bertanya : “apakah menyalurkan hasrat seksual kepada istri-istri kami) mendapat pahala? Nabi menjawab :

أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحلال كان له أجر (رواه مسلم)
                                    
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual seseorang disalurkannya di jalan yang haram, apakah diamenanggung dosa? Maka demikianlah, bila hal itu disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala. (HR. Muslim)[10]

Matan hadits dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah perbuatan dosa, maka penyaluran hasrat seksual secara halal merupakan perbuatan yang bernilai pahala. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa secara textual hadits tersebut telah memberi petunjuk tentang ajaran islam yang bersifat universal sebab ketentuan itu berlaku untuk semua waktu dan tempat.[11]

KESIMPULAN
1.      Metode dalam memahami sunnah Nabi S.A.W  adalah melihat sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi suatu hadits, baik yang tersurat maupun tersirat, atau yang dipahami dari kejadian yang menyertainya.
2.      Dalam pendekatan bahasa, yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata (mufradat) sukar yang terdapat dalam hadits, lalu melanjutkan dengan melihat unsur-unsur keindahan bahasa. Setelah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadits tersebut, baru dapat ditarik kesimpulan dari makna hadits tersebut.
3.      Hadits memiliki bentuk matan yang beragam :
a.       Jami’ al kalim, (ungkapan yang singkat, namun padat makna),
b.      Tamsil (perumpamaan),
c.       Bahasa simbolik (ramzi),
d.      Bahasa percakapan (dialog)
e.       Ungkapan analogi (qiyash) dan lain sebagainya.






[1] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 88
[2] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, Bulan Bintang, Jakarta, hal.6

[3] Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi, YPI, Yogyakarta, 2001, hal. 57-58
[4] Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadits, LESFI, Yogyakarta, 2003, hal. 54
[5] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Dar Kutub Al Islamiyah, Beirut, 1992, hal. 240
[6] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, Bulan Bintang, Jakarta, hal.12
[7] Ibid, hal. 14
[8] Ibid, hal.21
[9] Ibid, hal.25
[10] Shahih Muslim, Juz II hal. 697-698
[11] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, Bulan Bintang, Jakarta, hal.38

Tidak ada komentar on "Memahami Hadits dengan Pendekatan Bahasa

Leave a Reply

Blogroll