Puasa adalah kewajiban dari Allah Ta’ala
kepada setiap orang mukmin. Puasa termasuk dalam rukun iman, sehingga dengan
mengetahui perbedaan puasa sunah dan haram disini kita bisa menjalankan puasa
dengan tanpa keraguan dan dengan kepastian. Semakin seorang mengenal Allah,
semakin bertambah ketakutan dan kehadiran hatinya, serta ia akan selalu
mengoptimalkan segala sesuatu untuk menggapai ridhoNya.
A.
Puasa
1.
Puasa
Sunnah
a.
Hari
Arafah bagi selain orang yang berhaji, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Nabi ditanya
tentang puasa hari Arafah, bersabda:
“Menghapus
dosa-dosa dua tahun setahun yang silam dan setahun yang akan datang”.[1]
b.
Puasa
Tasu’a dan puasa Asyura’, yaitu tanggal 9 dan 10 bulan Muharram. Sebagaimana
Nabi berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkannya, beliau bersabda:
“Jika
sampai tahun depan Insya Allah kita puasa Tasu’a.”[2]
c.
Puasa
enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa
berpuasa di bulan Ramadhan dan meneruskannya enam hari di bulan Syawwal, maka
ia seperti berpuasa sepanjang tahun”.[3]
d.
Puasa
pada paruh pertama bulan Sya’ban. ‘Aisyah r.a berkata: “aku tidak pernah
melihat Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan ramadhan dan aku
tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban.”[4]
e.
Puasa
sepuluh pertama bulan Dzulhijah. Rasulullah bersabda:
“Tidak ada hari-hari dimana amal shalih di dalamnya lebih dicintai
Allah dari pada hari-hari ini –sepuluh pertama bulan Dzulhijah-. “para sahabat
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah
bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah melainkan seseorang keluar dari
dirinya dan hartanya, kemudian tidak ada sedikitpun dari padanya yang kembali.”[5]
f.
Puasa
bulan Muharram. Nabi ditanya sahabat tentang puasa apa yang lebih baik setelah
bulan ramadhan. Nabi bersabda:
“Bulan
Allah yang kalian namakan Muharram.”[6]
g.
Puasa
hari-hari putih dalam setiap bulan, yaitu tanggal 13, 14, 15 setiap bulan
Hijriyah. Rasulullah bersabda:
“Puasa
hari-hari tersebut (hari putih) seperti berpuasa sepanjang tahun.”[7]
h.
Puasa
hari Senin dan Kamis. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan diperlihatkan pada hari Senin dan
Kamis.”[8]
i.
Puasa
sehari dan tidak puasa sehari. Rasulullah bersabda:
“Puasa
yang paling dicintai Allah ialah puasa Daud…”[9]
j.
Puasa
bagi bujangan yang belum mampu menikah. Nabi bersabda:
“…barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa,
karena berpuasa adalah wija’ baginya.”[10]
2.
Puasa
Haram
a.
Puasa
dua hari raya (idul fitri dan idul adha). “Dua hari yang dilarang Rasulullah
untuk berpuasa yaitu hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari dimana
kalian memakan hewan kurban kalian.”[11]
b.
Puasa
pada hari Tasyriq, yaitu tiga hari berturut-turut setelah hari raya adha.
Rasululah bersabda:
“Janganlah kalian berpuasa pada hari ini, karena ia merupakan hari
makan-minum dan mengingat Allah ‘Azza wa Jalla “[12]
c.
Puasa
ketika menjalani haid dan nifas bagi wanita, karena ijma’ ulama menegaskan tentang hal ini. Rasulullah bersabda:
“Bukankah jika wanita menjalani haid itu tidak shalat dan tidak
puasa.? Itulah bentuk kekurangan dalam agamanya.”[13]
d.
Puasa
orang yang sakit dikhawatirkan meninggal dunia karena puasanya.[14]
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha
Penyayang pada kalian.” (Q.S An-Nisa’: 29)
e.
Puasa
mengkhususkan pada hari Jum’at. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya hari Jum’at itu merupaka hari raya kalian, maka
janganlah kalian puasa di dalamnya, kecuali kalian berpuasa di hari sebelumnya
atau sesudahnya.”[15]
f.
Puasa
Wishal, yaitu meneruskan puasa selama dua hari atau lebih tanpa berbuka.
Nabi bersabda:
“Tinggalkanlah
dari kaliah puasa wishal.”[16]
g.
Puasa
pada hari yang diragukan. Yaitu pda tanggal 30 Sya’ban, karena Rasulullah
bersabda:
“Baragsiapa
berpuasa pada hari yang diragukan, sungguh ia telah durhaka kepada Abu
Al-Qashim (Rasulullah saw).”[17]
h.
Puasa
sepanjang tahun tanpa berbuka. Nabi bersabda:
“Tidaklah
berpuasa orang yang berpuasa selama-lamanya.”[18]
i.
Puasa
istri tanpa izin suaminya, padahal suaminya ada di tempat (rumah). Nabi
bersabda:
“Janganlah istri berpuasa satu hari saja, sedang suaminya berada di
rumah melainkan dengan izinnya, kecuali puasa Ramadhan.”[19]
B.
Hal-hal yang Membatalkan Puasa
1.
Masuknya
sesuatu kedalam perut melalui manapun dengan disengaja.
2.
Keluarnya
air mani dengan sengaja
3.
Muntah
dengan sengaja
4.
Melakukan
hubungan suami-istri
5.
Dipaksa
makan, minum dan hubungan suami-istri
6.
Haidh
dan nifas
7.
Murtad
dari Islam. Allah berfirman:
“Jika kamu mempersekutuan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orng-orng yang merugi.” (Q.S Az-Zumar: 65).
Semua pembatal diatas membatalkan puasa dan wajib penggantian
puasa. Hanya saja tidak ada kafarat[20]
di dalamnya, sebab kafarat tidak diwajibkan kecuali terhadap dua pembatal,
yaitu:
1.
Jima’
(melakukan hubungan suami-istri).
2.
Makan
dan minum tanpa udzur yang diperbolehkan.
Hikmah Puasa
·
Hikmah
dari segi spiritual:
1.
Membiasakan
orang yang berpuasa untuk bersabar
2.
Menguatkan
kesabarannya
3.
Mengajarkan
dan membantu pengendalian diri,
4.
Memunculkan
sifat takwa dalam diri.
·
Hikmah
dari segi sosial:
1.
Membiasakan
umat Islam teratur
2.
Bersatu,
3.
Akhlak
berbuat baik,
4.
Melindungi
masyarakat dari keburukan dan kerusakan
·
Himah
dari segi kesehatan:
1.
Membersihkan
usus-usus
2.
Memperbaiki
lambung,
3.
Membersihkan
badan dari kotoran-kotoran,
4.
Meringankan
badan dari himpitan kegemukan. Rasulullah bersabda:
“Puasalah
kalian, niscaya kalian sehat.”[21]
Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi. 2001. Minhajul Muslim. Iskandariyah: Dar As-Salam
DR. Abdul
‘Adzim Barawy. 2001. Al-Wajiz Fii Fiqh Sunnah wa Kitab Al-‘Aziz. Mesir:
Dar Ibn Ragb
Sayyid Sabiq. 1982. Fikih
Sunnah 3. Bandung: PT
[1] Shahih:
Imam Muslim(2/818/1162). Lihat Al-Wajiz fii shiyami tathawwu’.
[2]
HR. Muslim di dalam Kitab Puasa.
[3] Shahih:
Abu Daud(2125),(7/86/2416), Muslim(2/822/1164), Tirmidzi(2/129/756), Ibnu
Majah(1/547/1716). Lihat Al-Wajiz fii shiyami tathawwu’.
[4]
HR. Muslim
[5]
HR. Ibnu Majah(1727), Imam Ahmad(1/224).
[6]
HR. Ibnu Majah(1742), Imam Ahmad(2/303/329).
[7] HR. Nasa’i
dan Ibnu Hibban men-shahih-kan ini.
[8] Shahih:
Abu Daud(7/100/2419).
[9] Mutafaqqun
‘alaih: Bukhari(4/220/1976), Muslim(2/812/1159), Abu Daud(7/79/2410),
Nasa’i(4/211).
[10]
HR. Bukhari(3/34). Wija’ ialah mengendurkan gejolak syahwat.
[11]
Mutafaqqun ‘Alaih: Bukhari(4/238/1990), Muslim(2/799/1137), Abu
Daud(7/61/2399), Tirmidzi(2/135/769), Ibnu Majah(1/549/1722).
[12]
HR. Ahmad dengan Isnad hasan. Lihat Fikih Sunnah(3/188/184).
[13] Shahih
Bukhari. Lihat Minhajul Muslim fii shaum muharram.
[14]
Lihat Minhajul Muslim fii shaum muharram.
[15]
HR. Bazzar dengan sanad yang baik. Lihat Fikih Sunnah(3/190/187).
[16] Mutafaqqun
‘Alaih: Bukhari(3/49), Muslim di dalam Kitab Puasa(58), Imam
Ahmad(2/231/244).
[17] Ashabus
Sunun. Lihat Fikih Sunnah(3/193/191).
[18] Mutafaqqun
‘Alaih: Bukhari(4/224/1979), Muslim(2/815/1159).
[19]
HR. Imam Ahmad(2/444).
[20]
Kafarat ialah sesuatu yang menghapus dosa karena tidak taat kepada pembuat
syari’at (Allah ‘Azza wa Jalla).
[21]
HR. Ibnu As-Sunni dan Abu Nu’aim. Sedang As-Suyuthi meng-hasan-kan
hadist ini.
Tidak ada komentar on "Puasa