BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah sumber hukum pertama umat Islam.
Kemampuan setiap orang dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu berbeda,
padahal penjelasan ayat-ayatnya begitu jelas. Perbedaan daya nalar diantara
mereka ini adalah sesutau yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya
dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kalangan
cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya
secara menarik. Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingat
pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian
besar dari umatnya melaluai pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata yang asing atau dalam mena’wilkan suatu
redaksi kalimat.
Umat Islam
memiliki banyak sekali ahli tafsir, diantara mereka ada dari kalangan shahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in bahkan ada juga dari ulama zaman ini yang mencoba
untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Dalam tulisan yang singkat ini kami akan
menganalisa bagaimana Ibnu Katsir dan Ar Razy menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Masalah dan Miliu Sosial Ekonomi
Metode adalah salah satu sarana yang
yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam studi tafsir Al-Qur’an metode berarti suatu
cara yang tratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pembahasan yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad SAW.
Definisi di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Al-Qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an[1]. Secara garis besar metode penafsiran al-Qur’an, dapat dibagi menjadi empat metode yaitu:
Definisi di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Al-Qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an[1]. Secara garis besar metode penafsiran al-Qur’an, dapat dibagi menjadi empat metode yaitu:
1. Metode penafsiran yang ditinjau dari sumber penafsirannya,
2. Metode penafsiran al-qur’an ditinjau dari cara
penjelasannya,
3. Metode penafsiran al-qur’an ditinjau dari
aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.
4. Metode
penafsiran al qur’an ditinjau dari keluasan penjelasannya.
Corak penafsiran adalah model-model penafsiran
dari setiap mufassir. Setiap
penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar
belakang ilmu pengetahuan yang ia kuasai. Pada abad awal, corak
penafsiran ini tidak banyak ditemukan atau bahkan tidak terlihat karena
mufassir pada abad awal atau pada periode klasik belum banyak terpengaruh
dengan fanatisme seperti yang banyak ditemukan oleh mufassir pada abad
pertengahan.
Adanya keempat macam metode penafsiran
tersebut tidak terlepas dari peran para mufasir dalam memfokuskan perhatiannya
terhadap penafsiran al-Qur’an itu sendiri. Di antara mereka ada yang
memfokuskan perhatiannya terhadap penafsirannya dalam masalah bahasa, fiqh,
teologi, filsafat, dan lain-lain, sehingga menimbulkan beraneka corak penafsiran.
Seperti al-lughawiy, al-fiqhiy, al-hukmiy, al-tafsir al-shufiy, disebut
al-kalamiy, al-tafsir al-‘ilmiy dan sebagainya. Semua corak dan aliran tafsir
ini banyak dipengaruhi oleh spesifikasi
dan kecenderungan aliran (madzhab) yang dianut oleh masing-masing mufassir.[2]
B.
Sebab-Sebab
lahirnya Corak dan Metode Penafsiran
Menurut
Nashruddin Baidan beliau belum menjumpai kitab khusus yang membahas sejarah
permulaaan lahirnya metode tafsir dan pengembangannya. Namun dari ucapan Abu
Bakar, Mujahid, dan Imam Malik dapat disimpulkan bahwa metote tafsir telah
lahir sejalan dengan lahirnya tafsir. Namun dalam masa itu belum ditemukan
pembukuan (pembukuan) ilmu-ilmu islam, termasuk metode tafsir, apalagi
mengkajinya secara ilmiah. Itulah antara lain yang menyebabkan tidak dijumpai
di kalangan ulama’ salaf kitab yang membahas metodologi tafsir secara khusus.
Selain itu, ulama’ generasi pertama mengusai ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam
menafsirkan Al-Qur’an seperti bahasa Arab, Balaghat, Sastra, dan lainnya.
Adanya ketegangan antar peminat
masing-masing disiplin ilmu yang berusaha untuk meraih dukungan masyarakat
maupun pemerintah melalui klaim kebenaran dan menunjukkan kebenaran pihaknya
dengan mencari justifikasi, dari al-Qur’an inilah “embrio” dari tafsir zaman
pertengahan yang sarat dengan “kepentingan” subjektif mufassirnya.
Dukungan resmi dari pemerintah atas
disiplin ilmu tertentu pada gilirannya tidak saja menjadikan peminat disiplin
tersebut bangga dengan minatnya, tetapi bahkan mengecilkan arti disiplin yang
lain. Hal di atas pada gilirannya menjadi faktor penyebab lahirnya
tafsir-tafsir yang didominasi oleh system berpikir tertentu. Apalagi
tafsir-tafsir ini umumnya ditulis oleh orang-orang yang sebelumnya sudah secara
sengaja mengambil spesialisasi bidang tertentu, betapapun beberapa diantaranya
adalah ulama’ ensiklopedi yang mumpuni dalam banyak cabang ilmu pengetahuan.
Pada penggal sejarah yang lebih belakangan, dalam periode pertengahan bahkan muncul fanatisme terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam satu cabang ilmu. Sedemikian tingginya tingkat fanatisme golongan ini, hingga lahirlah kecenderungan taqlid yang menghapuskan toleransi, dan cara berpikir kritis generasi tertentu. Bagi generasi ini, pendapat imam dan tokoh besar madzhab fiqih tertentu misalnya menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an atau bahkan diposisikan sedemikian tinggi hingga setara dengan posisi teks itu sendiri.
Pada penggal sejarah yang lebih belakangan, dalam periode pertengahan bahkan muncul fanatisme terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam satu cabang ilmu. Sedemikian tingginya tingkat fanatisme golongan ini, hingga lahirlah kecenderungan taqlid yang menghapuskan toleransi, dan cara berpikir kritis generasi tertentu. Bagi generasi ini, pendapat imam dan tokoh besar madzhab fiqih tertentu misalnya menjadi basis dan standar penafsiran teks al-Qur’an atau bahkan diposisikan sedemikian tinggi hingga setara dengan posisi teks itu sendiri.
C.
Biografi
Ibnu Katsir dan Metode Penafsirannya
Nama
lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ ‘Imaduddin Isma’il bin Syeh Abi Haffsh
Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi
al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur
kota Damaskus, pada tahun 700 H. Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di
keluarganya. Ayahnya adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia
juga terkenal dengan ahli ceramah.
Ia
dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung
nilai-nilai keilmuan. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi
sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan hingga melebihi keluasan ilmu ayahnya
Ibnu
Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu Ibnu
Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang
mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia sebelas tahun, Ia
selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada
tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syaikh
Damaskus, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729)
terkenal dengan ibnu al-Farkah, tentang
fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syaikh Kamaluddin
bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi
Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh
Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah
al-Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad. Ia
juga sempat ber-mulazamah kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w.
742). Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syaikh Nazmuddin
bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada
beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah
Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu
Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode
karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu
Taymiyyah.
Ibnu Katsir
adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui
yang shahih dan dha’if”. “Ibnu Katsir juga seorang mufti, muhaddits, dan
seorang ulama yang faqih dan kapabel dalam tafsir”.
Genap
usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat, tepatnya pada hari Kamis,
26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus, disisi makam
guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibnu Taimiyah.
Metode
Penafsiran Ibnu Katsir
Karakater karya
seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut,
kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibnu katsir. Sosok Ibnu Katsir yang
condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal
ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran
pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran
yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
Pemahaman yang
orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga.
Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu,
kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan
thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang
pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula
mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.
Ibnu Katsir
yang telah ter-sibghah
dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode
karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia
gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana
telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan
kategori tafsir bil-ma’tsur.
Keistimewaan metodologi
Tafsir Ibnu Katsir
Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir
ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap point;
1. Nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang
menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang
lain.
2. Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang
dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta
keagungan maknanya.
3. Menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan
tabi’in.
4. Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai
kafabilitas dalam bidangnya.
5. Jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta
menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan
konsep jarh wa
ta’dil.
6. Mengekspresikan manhaj
al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang
tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
D.
Biografi Ar Razy dan Metode Penafsirannya
Al-razi adalah seorang tokoh mutakallim
yang sekaligus juga filosof yang hidup setelah zaman al-Ghazali yang mempunyai
nama lengkap Muhammad Ibnu Umar al-Razi. Beliau dijuluki juga al-imam karena
menguasai ushul fiqh dan kalam dengan sangat dalam, gelar beliau adalah adalah
Fakhruddin (kebanggan agama dari Rayy) karena penguasaanyya yang sangat
mendalam tentang berbagai disiplin keilmuan menyebabkannya berbeda dengan para
tokoh pemikir muslim yang berasal dari Rayy.
Beliau lahir di Rayy pada bulan Ramadhan
554 H (1149 M). dalam masanya beliau hidup dengan beberapa tokoh intelektual
muslim yang terkenal seperti Ibn Rusyd (520/1126 – 595/1198), Ibn ‘Arabi
(560/1165 – 638/1240). Beliau wafat pada (660 H/1210 M).
Fakhruddin
Al-Razi adalah orang yang pintar, cerdas, dan otodidak serta mempunyai
kemampuan menghafal yang luar biasa. Saat berusia 15 tahun ia merantau ke
Simnan dan mendalami fiqih kepada al-Kamal al-Samnani kemudian kembali ke Rayy
dan berguru kepada Majduddin al-Jilli dalam masalah teologi dan filsafat.
Ketika al-Jilli berpindah ke Marahgah untuk mengajar di sana al-Razi ikut menemani gurunya. Salah seorang teman
seperguruannya di marahgah adalah Shihabuddin al-Surahwadi, seorang filosof
yang menengalkan gagasan filsafat alternatif terhadap filsafat Aristoteles yang
pada saat itu cukup berpengaruh.
Beliau
adalh ahli fiqih dari madzhab Syafi’I, penulis karya-karya terkenal dalam fiqih
dan ushul al-fiqh dan lain-lain, beliau adalah tokoh dunia pada zamannya. Bagi
sejarawan Al-Subki (727-771) beliau adalah seorang pakar teologi yang menguasai
lintas disiplin ilmu. Pujian ini memang wajar dilebelkan padanya sebab ia
seorang filosof, teolog, pakar logika, matematika, fisika, kedokteran, sastra
arab, fiqih, ushul fiqh, tafsir, sejarah
dan perbandingan agama.
Metode
Penafsiran Ar Razy
Mafatihul Ghoib adalah kitab tafsir dengan menggunakan metode
tahlili bi al-ra’yi yang komprehensif,
karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Dalam tafsirnya sang pengarang terlihat
berusaha menangkap substansi makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an.
Beliau menggunakan ilmu-ilmu humaniora
untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan
ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan pikiran dan kedangkalan
akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.
Fakhruddin al-Razi sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat
al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar
tentang tata bahasa (gramatika). Walau mencakup pembahasan yang ekstensif
mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang
paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam
semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi,
perbintangan, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian
tubuh manusia.
Pendekatan yang dilakukan oleh Fakhruddin
al-Razi ketika menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan lintas disiplin ilmu
merupakan sebuah usaha yang perlu dihargai. Apalagi, usaha beliau itu sama
sekali tidak meninggalkan pendekatan al-tafsir bi al-ma’thur. Beliau juga
sangat konsen dengan disiplin bahasa ketika menafsirkan Al-Qur'an. Umumnya dipercaya bahwa al-Razi meninggal sebelum menyelesaikannya.
Tafsir itu diselesaikan oleh salah satu muridnya, yang telah mengikuti
metodologi dan idiom pendahulunya.
Keistimewaan
tafsir ar-Razy diantranya:
1.
Menjaga
dan membersihkan al-Qur’an beserta segala isinya dari
kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan
bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur’an).
2.
Pada
sisi lain, al-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu
“bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti
terbaca” dalam bentuk al-Qur’an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang
pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua,
menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah
dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya.
3.
Al-Razi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya
studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta
digunakan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur’an, selama berdasarkan kaidah-kaidah
madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Namun, karena pembahasan di dalamnya
menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup
ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini
terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai,
sebagian ulama’ menilai di dalamnya terkandung berbagai hal kecuali tafsir.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam penelitian yang sederhana
ini kami dapat menyimpulkan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir
yang menggunakan metodologi bil ma’tsur, bahkan merupakan tafsir bil ma’tsur
yang mendapatkan predikat termasyhur kedua setelah tafsir at- Thabari.
Tafsir ini memiliki banyak
keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibnu katsir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, terlebih kaitannya dengan Hadits atau Khabar yang kurang tsiqah.
Beliau mencoba sejauh mungkin untuk menghindarinya. Begitupun dengan
Israilliyat.
Dlam
tafsirnya Fakhruddin al-Razi
tidak terbatas kepada pendekatan tata bahasa dan riwayat saja. Ia menafsirkan
Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai pendekatan lintas disiplin ilmu. Dalam
pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an diturunkan supaya bermanfaat dan
rahasia-rahasianya tersingkap, bukan untuk tujuan dari sisi tata bahasa dan
khabar saja tanpa menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang justru
menunjukkan kekuasaan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan
Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an,
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Usman, Ilmu Tafsir, Yokyakarta: Teras, 2009
Tidak ada komentar on "Metode dan Corak Penafsiran