1. Sahabat secara etimologi sahabat adalah mashdar dari fi’il
madhi dan mudhori’ “shohiba yashabu , ash suhbah, ash
shohabii”. Tetapi yang lebih banyak digunakan adalah “ash shohaabi”
yang berarti “al ashaab”. [1]
2. Secara
istilah Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i pernah
berkata:"Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah
SAW, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam.[2].Apabila
ada orang yang waktu bertemu atau berkumpul dengan Rasulullah dalam keadaan
beriman, kemudian dia murtad maka orang tersebut tidak termasuk sebagai
sahabat. Sebab waktu mati dia tidak dalam keadaan beriman.
3. Menurut
jumhur Ulama Ushul, sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Saw dan
beriman kepadanya serta senantiasa bersama Nabi selama masa yang lalu, seperti
Khulafaurrasyidin. Ummahatul mu'minin, lbnu Mas'ud, Ibn Abbas, lbn Umar, Ibn
Umar Ibn Al’Ash dan Zaid bin Jabal. Tetapi menurut
kebanyakan Ulama Hadis, sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Saw dan
imam dengan dia sampai mati. Jadi tidak mesti bersama beliau untuk waktu yang
lama.Kebanyakan
muslim mendefinisikan para sahabat sebagai mereka yang mengenal Nabi Muhammad
SAW, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Para sahabat utama
yang biasanya disebutkan hingga 50 sampai 60 nama, yakni mereka yang sangat
dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Sahabat disebut pula murid Nabi
Muhammad.Identifikasi terhadap sahabat nabi, termasuk status dan tingkatannya
merupakan hal yang penting dalam dunia Islam karena dapat digunakan untuk
mengevaluasi keshahihan suatu hadits maupun perbuatan Nabi yang
diriwayatkan oleh mereka.
A. Pembahasan
1. MUNCULNYA FATWA SAHABAT
Setelah Nabi Saw wafat, banyak timbul peristiwa baru
dan kejadian yang memerlukan adanya petunjuk/fatwa syara' dari
para sahabat. Memang sebagian sahabat terkenal berpengetahuan ilmu dan fiqh,
serta mengetahui sumber-sumber hukum Islam dan prisipnya. Fatwa-fatwa yang
mereka berikan itu dikutip dan disampaikan kepada kaum muslimin, sehingga
oleh sebagian Ulama dijadikan hujjah sementara sebagian Ulama lain berpendapat
berbeda dengan fatwa sahabat.[3]
2. KATEGORI PERKATAAN ATAU FATWA PARA SAHABAT
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan
pada umatku ada tiga hal: Keterpelesetan ulama, debatnya orang munafik yang
menggunakan Al-Qur’an dan dunia yang mengakibatkan leher-leher kalian
terpenggal. Oleh karena itu, curigailah hal-hal tersebut pada diri-diri kalian!
(1) Masalah yang disampaikan bukan medan akal.
Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’ (bersumber dari Nabi).
Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia
bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam namun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya).
Akan tetapi jika sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh
disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan secara
tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam.
(2) Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh
sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan
sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya.
Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja.
Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari
pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
(3) Perkataan sahabat yang populer dan tidak
bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang
dihukumi sebagai ijma’menurut mayoritas para ulama.
(4) Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang
kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat yang
tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui
apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan adalah
sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan
mayoritas umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah
3. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TERHADAP FATWA SAHABAT
Sebagian Ulama berpendapat dijadikan hujjah, bila hukumnya tak terdapat dalam kitab, Sunnah dan ijma'. Argumentasi mereka adalah, Firman Allah
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar (Q.S:9:100)"
Assabiqun itu adalah sahabat yang oleh Allah diridhai bersama
pengikut mereka maka berpegang kepada fatwa mereka merupakan mengikuti rnereka
dan sarana keridhaan Allah.
1. Sunnah Nabawiyah yang menunjukkan ketinggian martabat shabat, dan keabsahan
mengikutinya. Di antaranya adalah sabda Nabi Saw. yang artinya :
"Aku adalah pelindung sahabat dan mereka pelindung
ummatku".
Imam Bukhari (semoga
Allah merahmati beliau) berkata: “Barangsiapa di antara kaum muslimin yang
pernah menemani Nabi SAW atau telah melihatnya, maka dia adalah termasuk
sahabatnya.”[4]
3. Bahwa fatwa-fatwa yang mereka berikan tidak
keluar dan sunnah Nabi ditinjau dari berbagai aspek :
a. Bahwa mereka mendengarnya dari Nabi Saw.
b. Bahwa mereka mendengarnya dari orang yang
mendengar Nabi Saw.
c. Bahwa mereka memehaminya dari ayat Qur'an
akan pengertian yang tersembunyi bagi kita.
d. Bahwa mereka sudah sepakat tentang sesuatu
tetapi yang sampai kepada kita hanyalah fatwa salah seorangnya.
e. Bahwa yang difatwakan itu karena kesempumaan
pengetahuannya terhadap fiqh dan kesaksian mereka terhadap turunannya wahyu.
f. Bahwa fatwa itu merupakan pemahaman mereka dari sunnah yang tidak
diriwayatkan dan Nabi saw lalu ia keluru mamahaminya.
4. FATWA PARA SAHABAT LEBIH LAYAK UNTUK DIIKUTI
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
Boleh berfatwa dengan
menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat.
Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada
pendapat-pendapat ulama mutaâakhirin (belakangan) serta fatwa mereka.
Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung
dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu
âalaihi. Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti
daripada fatwa para tabiin[5]
5. SAHABAT-SAHABAT YANG BANYAK BERFATWA
Ibnu Hizm berkata:
Sahabat-sahabat yang
banyak berfatwa secara mutlaq ada tujuh yaitu: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah ra. Berkata pula: dan
dibawahnya ada dua puluh yaitu: Abu Bakar, Utsman, Abu Musa, Muadz bin Jabal,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Anas, Abdullah bin Amru bin Ash, Salman,
Jabir, Abu Said, Thalhah, Zaid, Abdurrahman bin ‘Auf, Imran bin Hisshoin, Abu
Bakroh, Ubadah bin Shomit, Mu’awiyyah, Ibnu Zubair, dan Ummu Salamah[6].
6. FATWA KHULAFAUR RASYIDIN
Pada masa Khulafaur Rasyidin ini
sangat penting dilihat dari perkembangan Hukum Islam karena dijadikan model
atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli Hukum
Islam dizaman Mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan Hukum
Islam.
1.
Abu
Bakar Ash Shiddiq, adalah Khalifah pertama hasil pemilihan di Tsaqifah bani
Sa'dah. Hukum-hukum dan perbuatan khalifah Abu Bakar akan dipaparkan berikut ini
sebagaimana dicatat oleh para ulama kita Ahlul Sunnah wal-Jamaah di dalam
buku-buku mereka. Di antaranya:
-
Khalifah
Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah SAW.
Ijttihadnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (8):41
- .
“Ketahuilah,apa yang
kamu perolehi seperlima adalah untuk Allah,Rasul-Nya,Kerabat,anak-anak
yatim,orang miskin,dan orang musafir” dan berlawanan dengan
Sunnah Rasulullah SAW yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat
tersebut
-
Khalifah Abu Bakar telah membakar Fuja’ah
al-Silmi hidup-hidup, kemudian dia menyesali perbuatannya. Dan ianya
bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW
”Tidak boleh disiksa dengan api melainkan dari Tuannya.”
1. Umar bin Khaththab ra
Khalifah
yang kedua adalah Umar ibn Khattab yang dikenal sebagai sahabat yang banyak
melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima hadits, berikut diantara
ijtihad:
-
Berita-berita telah
sampai kepada ‘Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah
terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya
berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit. Harta benda musuh, yang terdiri
dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang
(ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah. Dan
tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.Berkenaan
dengan harta (yang bergerak) maka ‘Umar telah melaksanakan hukum Allah
mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya
kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta’ala,
(Al Anfal : 41). Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, ‘Umar
berpendapat lain. Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan
tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan
negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini
dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan
orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di
pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan
negeri-negeri yang terbebaskan. Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali
jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah
harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay’) kepada mereka.
Adapun titik pandangan ‘Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu
memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah
memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu
bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?’ … Demikian itu,
ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau
menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah
pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu
sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa
sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu.
Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan
(kemiskinan) yang mendesak di pihak lain.
2. Utsman bin Affan
Utsman bin Affan diangkat
menjadi khalifah atas dasar musyawarah dan keputusan sidang Panitia enam, yang
anggotanya dipilih oleh khalifah Umar bin khatab sebelum beliau wafat, berikut diantara ijtihadnya :
Hukum-hukum dan perbuatna-perbuatan khalifah Ustman yang
bertentangan dengan nas tetapi di anggap sebagai ijtihad sebagaimana dicatat
oleh para ulama kita Ahlul Sunnah Wal-Jama’ah di dalam buku-buku mereka.
Diantaranya:
1 . Khalifah Ustman adalah orang yang pertama memerintahkan azan (pertama) dilakukan sebelum azan (kedua) khutbah. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA.
2. Khalifah Ustman adalah orang pertama yang mendahulukan khutbah Hari Raya di dalam solat Hari Raya. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.
3. Khalifah Ustman tidak menjalankan hukum Qisas ke atas Ubaidullah bin Umar al-Khattab kerana membunuh Hurmuzan dan Jufainah. Sebaliknya membawanya ke Kufah dan membenarkannya menetap di sana. Kaum Muslimin menentang Sunnahnya.
Oleh itu pembekuan khalifah Ustman terhadap hukum bunuh Ubaidullah bin Umar yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah adalah satu perbuatan yang menyalahi nash.
1 . Khalifah Ustman adalah orang yang pertama memerintahkan azan (pertama) dilakukan sebelum azan (kedua) khutbah. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA.
2. Khalifah Ustman adalah orang pertama yang mendahulukan khutbah Hari Raya di dalam solat Hari Raya. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.
3. Khalifah Ustman tidak menjalankan hukum Qisas ke atas Ubaidullah bin Umar al-Khattab kerana membunuh Hurmuzan dan Jufainah. Sebaliknya membawanya ke Kufah dan membenarkannya menetap di sana. Kaum Muslimin menentang Sunnahnya.
Oleh itu pembekuan khalifah Ustman terhadap hukum bunuh Ubaidullah bin Umar yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah adalah satu perbuatan yang menyalahi nash.
3. Ali bin Abi Thalib
-
Setelah meninggalnya
Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun dan sebagian sahabat serta kaum
muslimin yang lain membai’at Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikut.
Kemudian munculah fitnah yang menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang
hukuman bagi para pembunuh Utsman bin Affan ra. Sahabat radhiyallahu’anhum
terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin Abi Thalib ra. dan kubu Aisyah ra. Mu’awiyyah
ra., Thalhah ra., Zubair ra dan lainnya. Kubu Aisyah ra dan sahabat lainnya
menuntut disegerakannya hukuman qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra. Namun
Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad, pertama negara
dalam keadaan kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh
Utsman bin Affan ra. sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum muslimin
yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra. membutuhkan
kepastiannya. Namun Aisyiah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan sahabat nabi yang
lain tetap pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk
menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.
B. REFERENSI
1.
Dirasat
fie Ulumil Hadits, karya DR. Muhammad Ali Farhaat
2.
Shahih Al Bukhari/Kitab
Al Manaqib
3.
Kitab
Ulumul Hadits, karya Ahmad Husnan
4.
Kitab
Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah
[1] Kitab Ulumul
Hadits, karya Ahmad Husnan, hal. 72
[2] Kitab Al-Ishabah
fi Tamyiz ash-Shahabah, karya Ibnu Hajar, hal. 101.
[4] Shahih Al Bukhari/Kitab Al Manaqib,
Bab Fadha’il Ash-hab An Nabiy Shallallahu Alaihi wa Sallam
[5]http://groups.yahoo.com/group/assunnah-qatar/message/3979http://groups.yahoo.com/group/assunnah-qatar/message/3979
[6] Dirasat
fie Ulumil Hadits, karya DR. Muhammad Ali Farhaat, hal.118
Tidak ada komentar on "Sahabat Nabi yang Paling Banyak Berfatwa